Sepenggal Cerita Pagebluk di Malioboro

Pandemi Covid-19 yang melanda bumi selama hampir dua tahun ini telah memporak-porandakan segala pilar kehidupan; yang paling utama tentunya pilar perekonomian banyak orang.

Di satu sisi, berbagai pembatasan terhadap kegiatan masyarakat memang ditujukan untuk meminimalkan, bahkan mencegah, merebaknya penularan virus dan menekan angka kematian akibat terpapar Covid-19. Namun, di sisi lain, segala pembatasan kegiatan masyarakat tersebut berdampak besar pada perekonomian. Intinya, pendapatan masyarakat, terutama yang bergerak di sektor informal, menurun drastis.

Salah satu contohnya adalah orang-orang yang menggantungkan nafkah kesehariannya di kawasan Malioboro, termasuk area pasar Beringharjo, Yogyakarta. Sebagai ikon utama pariwisata yang terletak di tengah Kota Yogyakarta, kawasan itu bisa dikatakan sehari-harinya selalu dipadati pengunjung, entah itu orang-orang lokal yang sekadar nongkrong, wisatawan domestik atau mancanegara.

Akan tetapi, sebagaimana diketahui, kondisi tersebut berbalik 180 derajat di masa pandemi/pagebluk ini. Malioboro menjadi sepi; lengang, bak ditinggalkan oleh pengunjungnya yang suka menikmati atmosfernya yang ngangeni.

Bukan hanya atmosfernya yang merana lantaran ditinggalkan. Lebih merana lagi adalah mereka yang selama ini berjualan atau menawarkan jasanya di kawasan itu, seperti pedagang kaki lima (PKL), kusir andong, pengemudi becak sampai buruh gendong di pasar Beringharjo.

Pages: 1 2 3 4 5

Leave a comment