Sepenggal Cerita Pagebluk di Malioboro

Bagaimanapun, pandemi telah memporak-porandakan dunia, termasuk harapan mereka. Seorang kusir, yang biasa melayani wisatawan untuk berkeliling dengan andongnya, mengaku pendapatan hariannya anjok sampai 70 persen. Dia biasa disapa Pak Slamet (61). Tempat tinggalnya di wilayah Pleret, Bantul.

Dengan andongnya Pak Slamet melakukan perjalanan dari rumahnya pagi hari ke Malioboro dengan waktu tempuh sekitar satu jam; segitu pula waktu yang diperlukan untuk kembali ke rumahnya pada malam harinya. Ini dilakukannya setiap hari sebelum pandemi.

Selama pandemi, jadwalnya berubah. Karena sepi pelanggan, ia berangkat dari rumahnya hampir tengah hari, dan kembali ke rumahnya pada sore hari sebelum maghrib.

“Sekarang sepi,” katanya ketika ditemui pada suatu siang yang terik. Ia bercerita tentang sepinya wisatawan selama pandemi, yang sangat berdampak pada pendapatan hariannya. Selain memangkas sendiri durasi kerjanya, ia juga meliburkan dirinya untuk tidak ke Malioboro pada hari Jumat.

Cerita Pak Slamet tak berbeda dari cerita buruh gendong di pasar Beringharjo. Sejumlah buruh gendong mengeluhkan sepinya pedagang dan pembeli. Pada keduanya lah buruh gendong mendapatkan pemasukan hariannya setelah membantu menggendong atau membawakan barang-barang mereka.

Saat ditemui pada suatu pagi di sekitar akhir tahun 2020, beberapa buruh gendong mengeluhkan penurunan pendapatan harian. Dua di antara wanita yang tak muda lagi itu berasal dari Kulonprogo, tapi dari desa yang berbeda.

Yen dinten biasa kula saged oleh duit seket sampek suwidak ewu, nek saiki sithik banget (Kalau hari biasa [sebelum pandemi] saya bisa mendapatkan Rp 50.000 sampai Rp 60.000, kalau sekarang sedikit sekali),” tutur seorang buruh gendong yang akrab disapa oleh koleganya sebagai Mbah Siyem. Ia mengaku usianya 60-an tahun.

Tentunya penurunan pendapatan tersebut menjadikannya kian berat dalam menjalani hidup sehari-hari. Apalagi untuk perjalanan dari rumah ke Beringharjo dan kembali lagi ke rumah, kebanyakan dari mereka menggunakan transportasi umum, yang berarti ada biaya untuk perjalanan pergi-pulang.

Para buruh gendong biasanya berangkat dari desa mereka pukul 4-5 pagi, dan sampai di pasar sekitar satu jam kemudian. Sekitar pukul 3 sore, biasanya mereka kembali ke rumah.

Namun bila memperoleh pendapatan yang dianggap cekak, dan daripada mengeluarkan untuk biaya transportasi, mereka memilih tidak kembali ke rumah dan menginap di emperan toko, atau tempat-tempat terlindung di area parkir, yang relatif dekat dengan Beringharjo sehingga esok paginya mereka bisa langsung bekerja kembali di pasar. “Ya mboten mantuk yen dhuwit mboten cukup nggo nge-bis (Ya tidak pulang kalau uangnya tidak cukup untuk [biaya naik] bus,” ujar Sukiyem (50).

Begitulah para perempuan yang tak mengenal hari libur itu, termasuk orang-orang lainnya yang bergerak di sektor informal di kawasan Malioboro. Tiap hari adalah hari kerja. Mereka akan meliburkan diri bila sakit, atau ada keperluan keluarga yang tak bisa ditinggal.

Pages: 1 2 3 4 5

Leave a comment